BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejak terjadinya revolusi industri di Inggris pada abad ke-18, hampir semua
negara di dunia juga melakukan perubahan ke arah industrialisasi, tidak
terkecuali di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat
petani sekarang sudah mulai mencoba membuka peluang di bidang Industri seperti
yang dilakukan di negara-negara lainnya.
Industri merupakan salah satu usaha ekonomi untuk yang menghasilkan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang banyak atau masyarakat. Pada dasarnya
seseorang atau kelompok tertentu membuat sebuah industri dengan tujuan akhir
untuk memperoleh keuntungan.
Dalam era globalisasi dan persaingan usaha yang sangat ketat sekarang ini,
kinerja karyawan yang optimal menjadi suatu yang sangat dibutuhkan. Mengingat
kinerja karyawan sangat mempengaruhi keberlangsungan suatu industri apakah
mampu bersaing mengikuti perkembangan yang ada atau tidak.
Menurut Tosi dan Carrol (1976) motivasi dengan prestasi kerja merupakan
satu hubungan yang kompleks, motivasi kerja berkaitan dengan kepuasan para
karyawan. Suatau pekerjaan yang dilakukan oleh para manajer adalah
memotivasikan karyawannya, demi meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja
(Wijono, 2010: 19). Sehingga para pemilik industri senantiasa memutar otak
untuk dapat meningkatkan motivasi kerja pekerjanya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa
masalah yaitu :
1. Apa definisi dari motivasi kerja ?
2. Apa yang mempengaruhi motivasi kerja karyawan ?
3. Apakah motivasi kerja dapat mempengaruhi kinerja dari karyawan ?
4. Bagaimana cara untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan ?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah dari makalah, tujuan yang ingin dicapai ialah
1. Untuk mengetahui definisi motivasi kerja menurut para ahli.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan.
3. Untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan.
4. Untuk mempelajari dan mengetahui cara/metode yang dilakukan untuk
meningkatkan motivasi kerja karyawan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 MOTIVASI
2.1.1
Definisi
Motivasi dalam bahasa Inggris disebut “motivation” yang berasal dari
bahasa Latin movere yang dimaksud dengan “menggerakkan” (Steers &
Poter, 1975; Wijono, 2010: 20). Dalam artian seseorang akan melakukan sesuatu
(bergerak) jika didasari oleh kehendak atau keinginan tertentu. Kehendak atau
keinginan itu dapat pula dikatakan motif atau yang mengakibatkan munculnya
perilaku.
Motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang
untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan
tertentu (Munandar, 2010 : 323).
Adapun definisi konseptual motivasi dan motivasi kerja yang dikemukakan
oleh Murray (1968: 7-8) memberi definisi motivasi adalah sebuah faktor yang
mengakibatkan munculnya, memberi arah dan menginterpretasikan perilaku
seseorang (Wijono, 2010: 20)
Kemudian Lawler (1973: 3) memberi definisi motivasi sebagai perilaku yang
dikontrol oleh pengontrolan pusat manusia yang mengarahkan individu untuk
mencapai sesuatu tujuan(Sutarto, 2010: 20). Dan menurut Arifin Hj. Zainal
(1984: 54) motivasi adalah sebagai sesuatu yang bersumber dari dalam atau dari
luar (Wijono, 2010: 21).
Menurut Bernard Berendooni dan Gary A. Stainer motivasi adalah kondisi
mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi yang mengarah kepada
pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan
(Sedarmayanti, 2009:216).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa motivasi kerja
merupakan sesuatu faktor yang mendorong seseorang baik dari dalam diri
seseorang maupun dari luar, untuk berperilaku melakukan sesuatu aktivitas kerja.
Dorongan dari dalam dapat berupa kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan yang ingin
terpenuhi dan dorongan dari luar dapat berupa suatu tujuan yang telah
ditetapkan untuk dicapai dalam waktu tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tujuan dari pemberian faktor motivasi kepada karyawan adalah untuk meningkatkan
semangat pekerja dalam bekerja, dan sebagai suatu upaya untuk meningkatkan
produktivitas kinerja karyawan.
2.1.2
TEORI MOTIVASI
Ada beberapa teori motivasi yang telah dikembangkan, namun pada dasrnya
terklasifikasi menjadi dua teori umum yaitu Teori Motivasi Isi dan Teori
Motivasi Proses.
A. Teori Motivasi Isi
1) Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
(1970)
Kebutuhan dari tiap individu berbeda-beda, dan menurut Maslow pemenuhan
akan kebutuhan tersebut sulit dalam waktu yang bersamaan. Maka Maslow menyusun
kebutuhan manusia dalam 5 tingkat dan pemenuhannya juga berdasarkan tingkat
kepentingannya.
1. Kebutuhan Fisiologis atau kebutuhan primer, yaitu kebutuhan yang merupakan
tingkat kebutuhan paling rendah, yang pemenuhannya harus lebih awal karena
menyangkut kebutuhan akan makan, minum, bernapas, tidur, seks,dan sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan, yaitu kebutuhan tingkat kedua yang ingin dipenuhi
setelah kebutuhan primer telah terpuaskan. Kebutuhan ini berkaitan dengan
keiginan akan perlindungan dan rasa aman terhadap segala ancaman, terjamin
keselamatannya saat bekerja dan sebagainya.
3. Kebutuhan Sosial, yaitu kebutuhan yang diperlukan dalam menjalin hubungan
baik dengan orang lain. Memberi dan menerima persahabatan, kasih sayang, dan
teman berbagi dalam menjalankan aktivitasnya.
4. Kebutuhan Harga diri, yaitu yang meliputi 2 jenis (Munandar, 2001: 328),
yaitu yang mencakup faktor internal seperti kebutuhan harga diri, kepercayaan
diri, kompetisi, dan otonomi. Dan faktor eksternal yang mencakup reputasi
seperti kebutuhan untuk dikenali, diakui, penghargaan, dan status.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri, yaitu kebutuhan ingin melakukan sesuatu berdasarkan
kemampuan yang dirasakan dimiliki. Kebutuhan ini akan muncul jika empat
kebutuhan sebelumnya telah terpenuhi. Seseorang cenderung Ingin menunjukkan
kemampuan yang berbeda dari orang lain dengan membuat seluruh potensi yang
dimilikinya dapat terwujud sacara nyata.
Jika karyawan berprinsip ‘bekerja adalah nilai’ sehingga tidak merasa bahwa
ketaatan pada atasan merupakan suatu paksaan, akan menimbulkan corak motivasi
yang proaktif. Sebaliknya jika karyawan berprinsip ‘bekerja adalah taat kepada
atasan’ sehingga merasa bahwa segala yang ia kerjakan adalah paksaan, akan
menimbulkan corak motivasi yang reaktif.
2) Teori Kebutuhan Existence – Related – growth (E.R.G)
Alderfer
Berbeda dengan teori kebutuhan Maslow, Alderfer mengelompokkan kebutuhan
manusia dalam tiga kelompok, yaitu
1. Kebutuhan Eksistensi (Existence needs). Disebut pula kebutuhan
keberadaan yang meliputi berbagai macam kebutuhan yang berkaitan dengan
kebutuhan materi dan fisik seperti kebutuhan makan dan minum, penghasilan, dan
keselamatan secara fisik. Kebutuhan ini termasuk dalam kebutuhan tingkat
pertama dan kedua pada tata tingkat kebutuhan maslow.
2. Kebutuhan Relasi (Relatedness needs) atau kebutuhan hubungan.
Kebutuhan ini berada pada tingkat ketiga pada teori Maslow. Kebutuhan ini
berkaitan dengan keinginan seseorang untuk membagi perasaan dan pikirannya
dengan orang lain disekitarnya. Keinginan untuk dapat berkomunikasi dengan baik
dan terbuka dengan rekan kerjanya, atasan atau bawahan.
3. Kebutuhan Pertumbuhan (growth needs), yaitu kebutuhan untuk
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya agar dapat lebih kreatif dan
produktif dalam beraktivitas. Kebutuhan ini hanya akan terpuaskan jika
seseorang telah mampu menunjukkan perkembangan potensi yang dimilikinya dalam
kehidupannya.
3) Teori Dua Faktor herzberg
Teori dua faktor ini disebut juga teori hygiene-motivasi. Herzberg
menemukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan
faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan
kepuasan kerja yang ia namakan faktor motivator, mencakup faktor-faktor yang
berkaitan dengan isi dari pekerjaan, yang merupakan faktor intrinsik dari
pekerjaan yaitu (Munandar,2001: 331).
a. Tanggung Jawab (responsibility), yaitu besar kecilnya tanggung jawab
yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja
b. Kemajuan (advancement), yaitu besar kecilnya kemungkinan tenaga
kerja dapat maju dalam pekerjaannya.
c. Pekerjaan itu sendiri, yaitu besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga
kerja dari pekerjaannya.
d. Capaian (achievement), yaitu besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja
mencapai prestasi kerja yang tinggi.
e. Pengakuan (recognition), yaitu besar kecilnya pengakuan yang
diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk-kerjanya.
Kelompok faktor yang lain yaitu hygene factors (faktor pemeliharaan)
yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan konteks dari pekerjaan, dan
meliputi faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, yang meliputi faktor (Wijono,
2010: 38) :
a. Administrasi dan kebijakan perusahaan
b. Hubungan dengan bawahan
c. Keamanan kerja
d. Kondisi-kondisi kerja
e. Gaji
Kebutuhan yang tergolong hygiene (faktor pemeliharaan), bila tidak
mendapatkan pemuasan akan menimbulkan ketidakpuasan dalam kerja. Namun bila
terpuaskan, orang belum akan puas (belum benar-benar termotivasi terhadap
pekerjaannya). Namun yang menimbukan motivasi kerja yang tinggi adalah pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan yang termasuk ke dalam faktor motivator (Anoraga, 2009:
39-40).
4) Teori Motivasi berprestasi (Achievement motivation) David
McClelland.
Dalam teori ini McClelland mengemukakan 3 motif, yaitu
a. Motif kekuasaan
Motif/kebutuhan berkuasa ialah adanya keinginan yang kuat
untuk mengandalkan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk
memiliki dampak terhadap orang lain (Munandar, 2001: 334). Hal ini memiliki
dampak negatif jika keinginan untuk mempengaruhi dan menguasai orang lain demi
kepentingan pribadinya. Dan akan berdampak positif jika motif kekuasaannya
lebih memainkan peran dalam meningkatkan organisasi. McClelland (1970)
mengatakan bahwa seorang manajer yang memegang tanggung jawab
pengadministrasian sebuah organisasi mau tidak mau terpaksa menggunakan
kekuasaannya terhadap karyawan yang prestasinya kurang baik (Wijono, 2010: 40).
Orang dengan kebutuhan untuk berkuasa yang besar menyukai pekerjaan dimana
mereka menjadi pimpinan.
b. Motif Afiliasi
Orang-orang dengan kebutuhan untuk berafiliasi yang
tinggi ialah orang-orang berusaha mendapatkan persahabatan. Mereka tidak
menghendaki situasi konflik antar pekerja maupun antara atasan dan bawahan.
Motif ini sebenarnya mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan hubungan interpersonal
antara manajer dengan karyawan dalam konteks keseluruhan organisasi. Dengan
kata lain hubungan kerjasama antara manajer dengan para karyawan akan tercipta
dalam suasana yang penuh dengan kehangatan dan kondusif dalam mendukung
tercapainya tujuan organisasi (Wijono, 2010:41). Pemimpin harus
berusaha agar karyawan dalam suatu organisasi yang dipimpinnya mempunyai
motivasi kerja yang tinggi untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Dengan
kata lain, pencapaian tujuan organisasi membutuhkan suatu human relations
yang baik (Yuningsih, 2011).
c. Motif Berprestasi
Menurut McClelland (1961) aplikasi dari motif berprestasi
menjelaskan bahwa individu akan mengerjakan sesuatu dengan gigih dan risiko
pekerjaannya adalah moderat (sedang), maka ia akan bekerja lebih bertanggung
jawab dan memperolah umpan balik atas hasil prestasinya (Wijono, 2010: 41).
Individu ini cenderung tidak menyukai berhasil secara kebetulan. Mereka lebih
mengejar pretasi pribadi daripada imbalan terhadap keberhasilan. Segala tujuan
yang ditetapkan merupakan sesuatu yang
tidak begitu sulit untuk dicapai tapi juga tidak terlalu mudah untuk
mencapainya. Tujuan yang harus dicapai merupakan tujuan dengan derajat
kesulitan menengah/moderate (Munandar, 2001:333). McClelland (1961) memberi
ciri-ciri individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi yaitu : (Riyadi,
2011)
Ø
Suka membuat kerja yang berkaitan dengan
prestasi
Ø
Suka mengambil risiko yang sederhana
Ø
Lebih suka membuat kerja yang mana individu
itu bertanggung jawaab bagi keberhasilan kerja tersebut
Ø
Suka mendapat kemudahan tentang kerja itu
Ø
Lebih mementingkan masa depan dari pada masa
sekarang dan masa lalu
Ø
Tabah apabila menemui kegagalan.
B. Teori Motivasi proses
1) Teori Jalur Tujuan oleh Georgopoulos, Mahaney, dan Jones serta Locke.
Teori ini diusulkan oleh Locke(1968). Dia menjelaskan bahwa teori proses
ini menekankan hubungan antara jalur tujuan dan perilaku individu. Selain itu,
dia menjelaskan bahwa tingkah laku didasarkan atas dasar pencapaian suatu
tujuan. Selanjutnya pendapat Georgopoulus, Mahaney, dan Jones (1975) yang telah
mengembangkan suatu model yang disebut “Path Goal Theory”. Yang
menekankan bahwa prestasi (performance) merupakan fungsi dari proses
memfasilitasi (Facilitating process) dan proses yang menghambat (Wijono,
2010: 43). Pada prinsipnya teori ini mengarah pada penetapan tujuan yang
dicapai secara sadar untuk mencapai prestasi kerja.
Ketika tujuan yang ditetapkan berdasarkan prakarsa sendiri, maka motivasi
kerja individu tersebut bercorak proaktif dan memiliki keikatan (commitment)
besar untuk berusaha mencapai tujuannya. Namun ketika seorang karyawan untuk
menetapkan sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu, maka individu tersebut
akan lebih bercorak reaktif dan keikatan (commitment) terhadap usaha
mencapai tujuannya cenderung tidak terlalu besar.
2) Teori Harapan
Teori ini awalnya dikembangkan oleh Vroom, kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh ahli lain yaitu Porter & Lawler. Teori harapan Lawler ini
mengajukan empat asumsi (Munandar, 2001: 338-339):
a. Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang disadari ataupun tidak disadari.
Jika disadari, maknanya serupa dengan penetapan tujuan. Jika tidak disadari,
motivasi kerjanya lebih bercorak reaktif.
b. Orang mempunyai harapan tentang kemungkinan bahwa upaya (effort= E)
mereka akan mengarahkan ke perilaku unjuk kerja (performance=P) yang
dituju. Ini diungkapkan sebagai harapan E-P
c. Orang mempunyai harapan tentang kemungkinan bahwa hasil keluaran (outcomes=O)
tertentu akan diperoleh setelah unjuk kerja (P).
d. Dalam setiap situasi, tindakan dan upaya yang dilakukan seseorang
ditentukan oleh harapan-harapan dan pilihan-pilihan yang dimilikinya.
Secara umum kemungkinan seseorang akan termotivasi untuk melakukan sesuatu
jika dirinya percaya bahwa tingkah lakunya tersebut akan mendatangkan hasil.
Kemudian individu tersebut akan percaya bahwa hasil tersebut mempunyai nilai
positif bagi dirinya, sehingga ia yakin bahwa dirinya mampu mencapai prestasi
yang dikehendaki.
3) Teori Keadilan (Equity Theory)oleh J.S. Adams
Salah satu asumsi Adams ialah jika orang melakukan pekerjaannya dengan
imbalan gaji/penghasilan, mereka memikirkan tentang apa yang mereka berikan
pada pekerjaannya (masukan) dan apa yang mereka terima untuk keluaran kerja
mereka (Waluyo, 2009:79). Teori keadilan ini mempunyai empat asumsi dasar
sebagai berikut :
a. Orang berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan satu kondisi keadilan.
b. Jika dirasakan adanya kondisi ketidakadilan, kondisi ini menimbulkan
ketegangan yang memotivasi orang untuk menguranginya atau menghilangkannya.
c. Makin besar persepsi ketidakadilannya, makin besar motivasinya untuk bertindak
mengurangi kondisi ketegangan itu.
d. Orang akan mempersepsikan ketidakadilan yang tidak menyenangkan lebih cepat
daripada ketidakadilan yang menyenangkan.
Dari asumsi diatas muncul tiga kombinasi, yaitu karyawan akan termotivasi
untuk meningkatkan prestasi jika memperoleh imbalan yang lebih dari apa yang
telah dikerjakannya, karyawan juga akan memberikan kinerja baik jika imbalan
yang diterima sesuai dengan apa yang telah dikerjakan, dan karyawan tidak akan
termotivasi untuk bekerja jika imbalan yang ia terima tidak sebanding dengan
apa yang telah dikerjakan.
2.1.3
MENINGKATKAN MOTIVASI KERJA
Dalam upaya meningkatkan motivasi kerja, diperlukan peran pemimpin/atasan,
peran pekerja sendiri, dan peran organisasi (Munandar, 2001: 342-346).
A. Peran pemimpin/atasan
Cara pokok yang dilakukan atasan untuk meningkatkan
motivasi, yaitu :
1) Pemimpin bersikap keras kepada karyawannya, dengan memaksakan karyawan
untuk bekerja keras atau memberikan ancaman.
2) Bersama-sama dengan karyawan menetapkan tujuan yang bermakna,sesuai dengan
kemampuan, yang dapat dicapai melalui prestasi kerja yang tinggi. Atasan perlu
mengenali sasaran yang bernilai tinggi dari bawahannya agar dapat membantu
karyawannya untuk mencapainya dengan demikian atasan memotifasi karyawannya.
B. Peran pekerja/karyawan
Hal ini berkaitan dengan tipe-tipe karyawan oleh McGregor
yaitu orang-orang yang bertipe X yang bersikap malas, menghindari tanggung
jawab dan harus terus dikendalikan. Sedangkan orang tipe Y cenderung bersikap
rajin, berambisi untuk maju, dan senantiasa mengembangkan dirinya. sehingga
tampak perbedaan peran karyawan dalam meningkatkan motivasi, jika karyawa
termasuk tipe X maka motivasi kerjanya bercorak reaktif, dan yang bertipe Y
termasuk corak motivasi proaktif.
C. Peran organisasi.
Berbagai kebijakan dan peraturan perusahaan dapat
‘menarik’ atau ‘mendorong’ motivasi kerja seorang tenaga kerja. Kebijakan yang
mampu ‘menarik’ motivasi kerja karyawan adalah kebijakan di bidang imbalan
keuangan (Waluyo, 2009: 81). Sedangkan kebijakan yang mampu mendorong motivasi
kerja adalah kebijakan Gugus Kendali Mutu yang merupakan suatu kebijakan yang
dituangkan ke dalam berbagai peraturan yang mendasari kegiatan dan yang
mengatur pemecahan masalah dalam kelompok kecil (Munandar, 2001: 345-346).
Selain itu menurut Stoner dan Freeman, 1994) beberapa hal yang dapat
dijadikan alat untuk meningkatkan motivasi karyawan atau pekerja sehingga mereka dapat terdorong dan semangat dalam
melaksanakan pekerjaannya diantaranya adalah : (Dermantio, 2009: 25).
Ø
Melibatkan atau mengikutsertakan dengan maksud
mengajak karyawan untuk berprestasi secara efektif dalam proses operasi dan
produksi organisasi.
Ø
Komunikasi, yaitu melakukan penginformasian
secara jelas terhadap tujuan yang ingin dicapai, cara-cara pencapaian dan
kendala yang sekiranya akan dihadapi.
Ø
Pengakuan, yang pada dasarnya berupa pemberian
penghargaan dan pengakuan yang tepat dan
wajar kepada karyawan atas prestasi kerja yang dicapai.
Ø
Wewenang
Pendelegasian, yaitu berkaitan dengan pendelegasian sebagai wewenang
dan kebebasan untuk mengambil keputusan serta kreatifitas karyawan.
Ø
Perhatian
Timbal Balik, yaitu berkaitan dengan pengungkapan atas harapan dan keinginan
pemilik atau pemimpin dan pengelola organisasi pada karyawan serta memahami,
memperhatikan dan berusaha memenuhi kebutuhan karyawannya.
Melahirkan motivasi kerja hanya bisa dicapai dengan kesadaran bersama,
serta pentingnya peran sang leader dalam memainkan peran sebagai
motivator yang mampu menunjukkan arah yang benar, sehingga dapat membantu/
membimbing perkembangan kelompok ke
tahap kedewasaan/kemandirian dan bertanggung jawab.
2.2.KINERJA
Menurut Seymour (1991) kinerja merupakan tindakan-tindakan atau
pelaksanaan-pelaksanaan tugas yang dapat diukur (Wahyudin,2003). Kinerja adalah
merefleksikan seberapa baik seseorang individu memenuhi permintaan pekerjaan
(Wahyudin,2003). Sementara itu menururt Suitadi (2003), Kinerja adalah suatu
hasil kerja yang dicapai seorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta
waktu (Riyadi, 2011 dalam Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan Vol 13).
Cascio
(1995:275) mengatakan bahwa kinerja merupakan prestasi karyawan dari tugas-tuganya
yang telah
ditetapkan. Sedangkan menurut Mangkunegara (2001:67); kinerja dapat didefinisikan
sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh
seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawab yang
diberikan kepadanya (Koesmono, 2005)
Kinerja yang baik dapat dipengaruhi oleh kecakapan dan motivasi. Kecakapan
tanpa motivasi atau motivasi tanpa kecakapan, keduanya tidak dapat menghasilkan
keluaran yang tinggi. Larsen dan Mitchell mengusulkan bahwa kinerja akan tergantung
kepada adanya perpaduan yang tepat antara individu dan pekerjaannya
(Sedarmayanti, 2009: 215-216).
Dale Timpe
(1992) mengungkapkan kinerja adalah tingkat prestasi seseorang atau karyawan
dalam suatu organisasi atau perusahaan yang dapat meningkatkan produktifitas.
Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan; pertama, faktor
internal, yaitu faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat seseorang, meliputi
sikap, sifat-sifat kepribadian, sifat fisik, keinginan atau motivasi, umur,
jenis kelamin, pendidikan, pengalaman kerja, latar belakang budaya dan
variabel-variabel personal lainnya. Kedua, faktor
eksternal, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang berasal
dari linkungan, kepemimpinan, tindakan-tindakan rekan kerja, jenis latihan dan
pengawasan, sistem upah dan lingkungan social. (Riyadi, 2011).
Sugianto (2001) memaparkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kinerja karyawan yaitu :
a. Strategi organisasional (nilai tujuan jangka pendek dan jangka panjang)
b. Batasan situasional (budaya organisasi dan kondisi ekonomi)
c. Atribut individual (antara lain kemampuan dan keterampilan)
Sementara itu menurut Robert, M.Raft dalam Temple (1999), dalam upaya
meningkatkan kinerja karyawan secara optimal dalam suatu perusahaan terdapat
tujuh faktor yang mempengaruhinya, yaitu :
a. Sistem upah untuk memperbaiki motivasi kerja dalam tugas
b. Penetapan tujuan untuk menambah motivasi kerja
c. Program Management By Objective (MBO) untuk menjelaskan dan membuat tujuan
individu sejalan dengan tujuan perusahaan
d. Berbagai prosedur seleksi karyawan untuk mencari kemungkinan kontrak dengan
individu yang berbobot dan berpengalaman.
e. Program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan keryawan sehingga dapat berfungsi efektif.
f. Pergantian kepemimpinan dan program-program untuk memperbaiki efektivitas
manajerial.
g. Mengubah struktur organisasi untuk memperbaiki efektivitas organisasi.
BAB III
STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1. STUDI KASUS
Kasus ini diambil dalam sebuah buku ‘Psikologi Industri dan Organisasi’
karangan Sutarto Wijono (2010). Topik dari studi kasus ini adalah “HILANGNYA
MOTIVASI KERJA”.
Di sebuah perusahaan multinasional yang sangat maju bergerak dibidang
produksi segala macam makanan dan mempunyai banyak karyawan serta para
pemimpinnya merupakan manajer-manajer yang sangat andal. Setiap manajer
mempunyai beberapa bawahan yang bekerja sesuai departemen masing-masing. Paling
tidak ada seorang manajer yang memimpin 8 orang yang bekerja diperusahaan
tersebut, yaitu manajer produksi, manajer pengendalian mutu produksi, manajer
pemasaran, manajer personalia, manajer HRD, manajer keuangan, manajer
akuntansi, dan manajer humas.
Para manajer tersebut mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing
dalam memimpin staf dan bawahannya. Dalam bekerja mereka selalu menunjukkan
kejujuran, kerja sama, dedikasi, loyalitas, dan komitmen yang tinggi untuk
memajukan perusahaan. Mereka sering kali memberi dukungan dan motivasi kerja
kepada para bawahannya agar selalu dapat memberikan yang terbaik bagi
perusahaan. Selama beberapa tahun, perusahaan tersebut telah membuktikan diri
dapat melakukan kompetisi dengan perusahaan yang sejenis secara memuaskan, dan
usaha pengembangan serta kemajuan yang dilakukan oleh para manajer bersama para
staf dan bawahannya telah terbukti menunjukkan produktivitas dan prestasi kerja
yang sangat memuaskan di semua departemen.
Namun selama satu bulan terakhir ini, situasi dan kondisi perusahaan
mengalami berbagai perubahan kebijakan dan sistem pemberian ganjaran baik
berupa kebutuhan fisiologi, sosial, maupun psikologis yang dilakukan oleh para
direksi perusahaan. Para manajer mencoba memahami segala perubahan kebijakan
dan sistem ini tidak mempengaruhi para staf manejerial dan bawahan mereka
masing-masing departemen. Hasil sosialisasi dari perubahan kebijakan dan sistem
tersebut menunjukkan perubahan tingkah laku, secara drastis di antara staf
manajerial dan para bawahan. Sebagian besar dari mereka mulai kehilangan semangat
dan motivasi kerja serta berakibat sangat serius bagi eksistensi perusahaan
makanan tersebut. Produktivitas dan prestasi kerja di antara staf dan
manajerial dan para karyawan mulai menunjukkan penurunan yang drastis.
3.2. PEMBAHASAN
3.2.1. Faktor yang mempengaruhi Motivasi
Berdasarkan kasus di atas nampak bahwa motivasi sangat dipengaruhi
kejujuran, kerja sama, dedikasi, loyalitas, dan komitmen yang tinggi untuk
memajukan perusahaan yang dimiliki oleh karyawan maupun pimpinan. Dalam teori
motivasi yang telah dibahas pada bab sebelumnya juga dijelaskan beberapa hal
yang mempengaruhi motivasi kerja seorang karyawan yaitu kebutuhan atau harapan,
tujuan, dan umpan balik dari pimpinan.
Penelitian Yuningsih juga menunjukkan hal yang sama bahwa sinkronisasi
tujuan organisasi/perusahaan dengan tujuan individu/karyawan mempengaruhi
motivasi kerja karyawan sebesar 50%, kemudian dalam hal kebutuhan khususnya
kebutuhan akan keselamatan dan kenyamanan kerja (tingkat kedua dalam teori
kebutuhan Maslow) berpengaruh terhadap motivasi kerja sebesar 62,3%, dan
kebutuhan tingkat ketiga dalam teori Kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan akan
hubungan sosial (human relation) mempengaruhi motivasi kerja karyawan
sebesar 69,2%. (Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011: 200-202).
Begitu pula dengan Umpan balik dari pimpinan yang berupa pengakuan/penghargaan
atau imbalan atas kinerja karyawan berpengaruh terhadap motivasi sebesar 56,4%.
Hal serupa juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan Slamet Riyadi di
Jawa Timur yang menemukan bahwa gaya kepemimpinan ikut mempengaruhi motivasi
kerja karyawan. Untuk lebih jelasnya hasil penelitian tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1: Koefisien Jalur Regresi
No
|
Variabel
|
Standardized
|
T - Statistik
|
Ket.(T-statistik >1,96)
|
1
|
X1 → Z
|
0,60
|
0,283
|
Tidak Signifikan
|
2
|
X2 → Z
|
0,489
|
3,652
|
Signifikan
|
3
|
X1 → Y
|
-0,154
|
0,792
|
Tidak Signifikan
|
4
|
X2 → Y
|
0,294
|
2,623
|
Signifikan
|
5
|
Z → Y
|
0,540
|
4,293
|
Signifikan
|
Sumber : Riyadi, 2011
Dari tabel diatas diperoleh bahwa, yang mempengaruhi motivasi Kerja (Z)
adalah Gaya kepemimpinan (X2) sedangkan Kompensasi finansial tidak mempengaruhi
motivasi kerja (Z) manajer. Dalam penelitian ini imbalan berupa kompensasi
finansial tidak begitu mempengaruhi motivasi kerja, kemungkinan ini disebabkan
karena responden yang dipilih adalah manajer tingkat menengah yang cenderung merasa
kompensasi finansial yang diterimanya telah melebihi atau sesuai dengan
harapan. Sehingga yang dibutuhkan adalah gaya kepemimpinan yang lebih
memberikan kompensasi non-finansial seperti human relations yang baik (Riyadi,
2011, dalam Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan,
Vol.13, No. 1, Maret 2011: 45-50)
Selain itu faktor lain yang mempengaruhi motivasi kerja karyawan adalah
budaya organisasi/perusahaan yakni yang berupa norma organisasi, kebijakan,
prosedur, dan aturan sosialisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Dalam penelitian
yang dilakukan Keosmono (2005) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh langsung
dari budaya organisasi terhadap motivasi kerja sebesar 0,680 (Tabel 2)
Tabel 2: Hubungan Langsung Antar Variabel
|
Budaya organisasi
|
Kepuasan Kerja
|
Motivasi
|
Motivasi
|
0,680
|
0,000
|
0,000
|
Kepuasan kerja
|
1,183
|
0,000
|
1,462
|
Kinerja
|
0,506
|
0,378
|
0,003
|
Sumber : Koesmono, 2005
3.2.2. Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan.
Dari kasus di atas nampak bahwa betapa motivasi yang diberikan manajer
kepada staf dan bawahannya sangat mempengaruhi produktivitas kinerja
karyawannya. Dimana motivasi tersebut diberikan dalam bentuk
pengahargaan/imbalan, human relations, keamanan dan kenyamanan kerja,
dan sebagainya (telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya) berdasarkan
teori-teori motivasi yang ada. Hal tersebut terbukti dari perusahaan tersebut
mampu berkompetisi dengan perusahaan sejenis lainnya secara memuaskan. Tetapi
ketika sistem dalam perusahaan tersebut telah berubah yang diikuti oleh
perubahan tingkah laku antara manajerial dan para bawahan, semangat dan
produktivitas kinerja karyawan menurun drastis. Penelitian Slamet Riyadi pada
Tabel 1 menunjukkan hal serupa bahwa motivasi (Z) juga ikut mempengaruhi
kinerja karyawan (Y).
Keadaan tersebut juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Adolf Henry (2009) yang menggunakan analisis korelasi berganda menemukan bahwa
70,1% produktivitas kerja karyawan dapat dijelaskan oleh variabel motivasi
kerja dan budaya organisasi secara bersama-sama. Dimana budaya organisasi yang
dimaksud adalah berupa norma organisasi, kebijakan, prosedur, dan aturan
sosialiasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Kemudian berdasarkan hasil
uji t didapatkan bahwa jika motivasi kerja semakin meningkat maka produktivitas
kerja karyawan juga akan meningkat (Henry, 2009). Hal ini juga sesuai dengan
teori Dua Faktor Herzberg, dimana ada yang disebut sebagai hygiene factors
(faktor pemeliharaan) yang bila tidak terpuaskan, akan menimbulkan kurangnya
motivasi kerja (Anoraga, 2009: 40).
Selanjutnya ada pula penelitian yang dilakukan oleh Sundring Pantja Djati
pada tenaga kerja industri Rumah Tangga di Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini
mengarah kepada Teori Kebutuhan Maslow dan
Alderfer. Dalam penelitian ini diperoleh bahwa kebutuhan fisiologis,
keamanan, dan keselamatan kerja, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan serta
kebutuhan aktualisasi diri secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap
produktivitas kerja karyawan sebesar 91,88% (Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan
Vol. 1, No. 1, September 1999: 29).
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
1. Motivasi kerja merupakan sesuatu faktor yang mendorong seseorang baik dari
dalam diri seseorang maupun dari luar, untuk berperilaku melakukan sesuatu
aktivitas kerja.
2. Hal-hal yang mempengaruhi motivasi kerja antara lain: Kebutuhan atau
harapan, tujuan, umpan balik, budaya organisasi, dan gaya kepemimpinan atasan.
3. Dari berbagai teori dan penelitian yang dijelaskan sebelumnya, dapat
dikatakan bahwa motivasi kerja dapat mempengaruhi kinerja karyawan.
4. Dalam proses meningkatkan motivasi kerja karyawan, dibutuhkan peran atasan
untuk bersikap tegas dan berusaha untuk men-sinkronisasi-kan tujuan
organisasi/perusahaan dengan tujuan individu/karyawan, Peran individu/karyawan
untuk mampu mengubah kebiasaannya (dari tipe X ke tipe Y), dan peran organisasi
yaitu membuat kebijakan atau peraturan yang dapat mendorong atau menarik
motivasi kerja karyawan seperti kebijakan di bidang imbalan keuangan.
Saran :
DAFTAR PUSTAKA
Munandar, Ashar Sunyoto. 2001. Psikologi Industri Dan Organisasi.
Jakarta: Universitas Indonesia. Hal 319-348.
Wijono, Sutarto. 2010. Psikologi Industri Dan Organisasi. Jakarta:
Kencana. Hal:19-57 dan hal ; 65-95.
Anoraga, Panji. 2009. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Hal: 34-45.
Sedarmayanti. 2009. TATA KERJA DAN PRODUKTIVITAS KERJA Suatu Tinjauan
Dari Aspek Ergonomi Atau Kaitan Antara Manusia Dengan Lingkungan Kerjanya.
Bandung:CV. Mandar Maju. Hal: 214-222.
Waluyo, Minto. 2009. Psikologi Teknik Industri. Yogyakarta:
Graha Ilmu. Hal:77-84.
Wahyudin, Yusni. 2003. Tesis: Analisis Pengaruh Diskusi Verbal Dalam
Review Kertas Kerja Dan Motivasi Serta Interaksinya Terhadap Kinerja Auditor Di
Jawa Timur. Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/9909/1/2003MAK2181.pdf Diakses 06 Oktober 2011.